You Are Reading

1

BUKU MERAH JAMBU UNTUK SEBUAH KISAH

miezfy Selasa, 04 Januari 2011 , ,

Gadis manis yang tinggi itu kini tengah berjalan di antara kawan-kawan sepermainannya. Ya, baru satu semester ini mereka dipertemukan di bangku sekolah bernama SMA. SMA kelas satu, menurut kabar adalah masa-masa ketika kita baru bertemu dengan sahabat seperjuangan. Dan konon katanya, karena terlalu sering terlihat bersama, Sakinah dan ketiga kawannya lebih akrab dengan sebutan  Four Fairy.  Bagus bukan? Ah..terlalu bagus untuk keempat remaja yang terlalu banyak berbicara itu.
            “Eh…kalian semua tahu gak….empat fenomena cewek masa kini….” Kata salah satu teman yang berjilbab biru dan kini sedang memegang majalah Annida edisi terbaru. Kata-kata…apa kalian semua tahu…sudah merupakan daya tarik tersendiri bagi seorang wanita untuk langsung menjawabnya dengan mengajukan satu pertanyaan lagi….Apa?Apa? (tentunya dengan antusias tingkat tinggi).
            “Yang pertama…fenomena bahwa cewek sekarang lebih suka dan lebih banyak makan….iya gak?” kata gadis tersebut melirik temannya yang berjilbab ungu sedang asik melahap satu roti sobek ukuran besar. Spontan kedua temannya tertawa karena temannya yang satu ini makan seakan-akan dia lupa bahwa mereka berada di tempat orang banyak. Taman Sukahati, itulah nama Best camp  mereka di hari minggu.
            “Yang kedua…fenomena bahwa cewek sekarang lebih suka jalan-jalan daripada diam di rumah. Jalam-jalannya pun macam-macam, ada yang ke mall, ke toko buku, atau pun hanya sekedar jalan-jalan keliling rumah. Yang penting jalan-jalan. Iya gak…?” kali ini gadis tersebut melirik pada kawan yang duduk di sebelahnya persis dan sedang sibuk membetulkan tali sepatunya. Ah…sebenarnya sedang sibuk menukar tali yang tadinya merah jadi biru. Ia hanya tersenyum kecil memperlihatkan adanya kebenaran.
            “Yang ketiga…fenomena bahwa cewek sekarang jauh lebih suka main bola, dari mulai bola basket, bola sepak, bola takraw sampe bola bekel. Intinya…lebih sporty lah…tul gak?” tanyanya kini beralih pada Sakinah. Ia hanya tersenyum…
            “dan fenomena keempat ialah….” Lanjut gadis itu sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
            “Oh NO…….” seru spontan dari si pemakan roti sobek.
            “Jangan lagi-lagi….” Disambung oleh si tukang jalan-jalan.
            “lo mau bilang kalo fenomena keempat adalah cewek sekarang lebih suka curhat di buku diary warna pink yang hyper norak itu daripada nulis agenda harian di buku yang formal?? Dan please Na….lo jangan nyuruh gw untuk baca ataupun nulis sesuatu di buku itu. Iyack…” komentar Sakinah, si pembenci warna pink, menunjukkan ke-lebay-annya. Nabila, begitulah nama gadis yang sedari tadi disibukkan oleh empat fenomena cewek masa kini, tersenyum penuh arti.
            “Sebenarnya gw tadi mau bilang bahwa fenomena keempat adalah cewek sekarang lebih kinclong daripada cewek dulu. Ya iyalah…kita kan masih pada muda, kalau mereka sudah pada tua. Ha ha….” Kata Nabila mencoba memberi humor yang klasik tapi ketiga temannya tidak tertawa. Nabila yang tadinya sangat bersemangat memandang ketiga sahabatnya dengan penuh harap.
            “Ayolah guys….gw kan sedang berusaha membuka hati-hati kalian. Seorang cewek itu selalu identik dengan curahan hati. Coba aja liat situsnya My Qur’an, banyak cewek kan yang mampir ke thread ‘Curhatmu’..?” kata Nabila. Tapi ketiga temannya yang konon katanya sangat anti warna pink dan amat sangat tertutup terhadap orang itu hanya saling pandang dan tak banyak memberi komentar.
            Jikalau ditanya siapa di antara mereka yang paling tahu isi hati sesamanya…pasti Nabila jawabannya. Nabila lah yang paling sering menemani Mala makan di kantin sementara yang lainnya sibuk dengan program diet mereka. Nabila juga yang paling sering menemani Tika jalan-jalan di saat yang lain sedang malas untuk keluar. Nabila juga yang paling sering menemani Sakinah berpanas-panasan di lapangan meskipun ia tidak ikutan sibuk dengan bola-bola yang menggelinding di Sport Center alias GOR. Tapi sayangnya….hobi Nabila adalah hobi yang paling tidak diminati oleh ketiga temannya. Sudah sering ia memaksakan kepada teman-temannya untuk menyukai hobinya itu, mendengarkan dan menceritakan curahan hati, tapi semakin ke depan semakin menyulitkan.
            Sebenarnya ketiga temannya bukannya tidak mau meluangkan waktu untuk saling membuka hati mereka, mereka hanya belum bisa merasa nyaman untuk membuka perasaan mereka. Yah…wajar saja, ketiganya memiliki karakteristik yang sama akan hal ini. Mala misalnya, perlu waktu yang amat sangat lama untuk membuatnya memberitahu bahwa ia memiliki 7 orang saudara dan dua di antaranya kembar. Ia berpikir memiliki banyak saudara di zaman sekarang ini merepotkan, padahal menurut ketiga temannya yang paling banyak hanya punya dua saudara itu, memiliki banyak saudara bisa menjadi warna yang menyenangkan dala kehidupan ini.
            “Yaudah deh….beneran nih gak mau ngisi? Yaudah gak apa…” kata Nabila sedikit putus asa dan sikap inilah yang selalu membuatnya sukses menghadapi ketiga temannya, sikap yang memunculkan rasa iba.
            “Iya deh….tapi jangan kasih tahu siapa-siapa ya…cuma kita berempat yang tahu…” kata Tika mulai bercerita dan Nabila seketika sumringah. Tak jadi dimasukkannya buku itu dan ia mulai menulis secara detail apa-apa yang diceritakan satu per satu tanpa ada yang tertinggal.
            
***
Beberapa bulan kemudian, di tempat yang sama, Mala menghampiri dengan tergesa-gesa kedua temannya yang sudah hadir lebih dulu darinya. Ia bari saja mendengar sebuah kabar mengejutkan yang didapat dari ayahnya, kepala sekolah di SMU tempat ia dan teman-temannya belajar. Dua teman yang didatanginya menatap penuh arti akan kedatangannya itu.
            “Lo terlambat Mal…ah, lebih tepatnya…kita semua terlambat” kata Sakinah memegang sebuah buku tebal bersampul merah jambu dan satu surat dengan warna yang serupa.
            “Ja…jadi benar?” Tanya Mala meyakinkan.
            “Ia, tadi ada orang yang kirim ini ke rumah gw. Dia nitip salam dan minta maaf karena harus pergi tiba-tiba” kata Sakinah.
            “Ternyata bukan cuma gw yang berpikir begitu. Gw kira juga teman kita yang satu itu cuma bercanda waktu dia bilang cuma bisa bersekolah selama enam bulan” kata Tika menatap buku pink yang sepertinya hanya ada satu di dunia itu
            Mereka bertiga kini disibukkan dengan keheningan. Seakan baru saja melakukan satu kesalahan yang besar, mereka terbisu oleh kekhilafan yang tak pernah mereka sadari selama ini.
            “Dia bahkan tak pernah melewatkan satu kata pun dari apa yang kita ucapkan” ucap Sakinah memecah keheningan, membuka halaman belakang buku pink itu satu per satu tanpa rasa jijik seperti biasanya dan tanpa ia sadari satu per satu air matanya menetes.
            “Ingat tidak waktu pertama kali kita bertemu dengannya di pengajian? Kita bertiga, makhluk yang paling tidak cocok sedunia seakan-akan disatukan oleh tangan malaikat dan diubah menjadi tiga makhluk yang paling sukar dipisahkan” kata Tika juga mulai membuka wacana.
            “Hei…apa kalian mau membuang-buang waktu untuk menangisi kebodohan? Ayolah….bukan itu yang sahabat kita inginkan. Chaky….bacakan surat itu” ujar Mala dengan sikap kolerisnya meskipun masih dengan airmata yang membanjiri pipinya. Tanpa ada bantahan, Sakinah langsung membuka amplop pink yang sedari tadi terpegang oleh tangannya.
            “Untuk tiga bidadari yang menanti senja mengantarkan mimpinya di siang hari…..” kata Sakinah mulai membaca dan ia memastikan kedua temannya sudah menyimak dengan seksama.
            “Sungguh kawan….tak ada yang bodoh dalam sebuah persahabatan. Aku tahu, kalian pasti menyalahkan diri kalian atas ketidaktahuan kalian dan aku pun menyalahkan diriku karena keenggananku untuk memberitahu kalian. Padahal, bukan itu yang seharusnya terjadi dalam persahabatan. Kita butuh kepercayaan bukan?
            Sahabatku…aku tak pernah mengerti sebelumnya cara berteman yang baik. Masa-masa kecilku, masa-masa SMP ku sepenuhnya dihabiskan lewat Home Schooling. Teman yang kupunya adalah teman-teman yang menganggap kejeniusan adalah segala-galanya. Teman yang kupunya adalah orang-orang yang menganggap bahwa kesuksesan dilihat dari seberapa besar angka yang mereka torehkan di nilai rapor. Aku sungguh bosan dengan semua itu. Temanku yang sesungguhnya hanyalah buku merah jambu ini yang selalu kubawa ke mana pun ku pergi yang selalu ku bawa ketika aku mendengarkan kalian berbicara. Mungkin bagi kalian ini konyol dan sangat kekanak-kanakan, tapi sebelum bertemu kalian, buku merah jambu ini adalah satu-satunya harta berharga yang membuatku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
            Aku mencoba memasuki dunia SMA dan bertemu kalian. Meskipun hanya diijinkan satu semester saja, aku tak peduli. Aku tahu Ayah dan Ibu cemas karena penyakit yang kuderita dan yang tak pernah kuceritakan pada kalian itu bukan sekedar penyakit biasa. Aku sadar, betapa bahaya hidupku jika jauh dari pengobatan dokter. Tapi paling tidak….aku ingin merasakan indahnya memiliki sahabat. Aku ingin merasakan sekali-kali, curahan hati yang terungkap. Memiliki teman-teman yang benar-benar bisa mendengarkan. Tapi sebelum itu, tentu, aku harus belajar untu merasakan indahnya menjadi buku diary.
            Maaf kalau aku harus memaksa kalian untuk bercerita. Tapi aku suka mendengar cerita kalian. Membuatku benar-benar sadar bahwa hidup ini bukan hanya tentang aku dan penyakitku, tapi juga tentang Mala dan saudara-saudara kecilnya yang nakal, tentang Tika dan kecemasannya akan berat badan, tentang Chaky dan cita-citanya menjadi cewek atletis nomor satu se Indonesia. Aku sampai lupa bahwa aku juga ingin bercerita. Aku sampai lupa bahwa aku juga punya kisah tersendiri tentang hidupku yang belum kalian tahu. Maaf ya…
            Hh…terlalu banyak menulis tanganku sampai pegal. He he.. Ketika kalian baca surat ini, mungkin aku sudah tak di Indonesia lagi. Aku hanya bisa mengirimkan buku merah jambu ini untuk kalian”  Sakinah menghentikan kata-katanya dan membuka halaman pertama buku merah jambu itu. Di sana terpasang foto mereka berempat ketika bermain di danau UI. Air mata ketiganya semakin deras, sakinah pun mulai melanjutkan pembacaannya.
            “Kukirimkan buku ini untuk mewakiliku bercerita pada kalian tentang kisah hidupku….dari sahabat kalian yang sangat merindukan kebersamaan yang dulu…Nabila Latifunnisa” kata Sakinah menatap kedua temannya yang menangis.
            “Ps : oh iya, jangan cemburu sama buku ini ya. Dia hanya hadir lebih dulu dalam hidupku daripada kalian dan berperan sebagai teman curhatku. Tapi aku percaya, kalau saat itu kalian yang hadir lebih dulu, sudah dipastikan buku ini yang akan cemburu pada kalian. He he” kata Sakinah tersenyum tipis. Lalu mereka pun mulai membuka buku yang dimaksud. Buku yang pada awalnya sangat tidak ingin mereka sentuh. 
Ketiga sahabat itu kini menyadari bahwa ada sebuah pekerjaan besar untuk dituntaskan.

***
            “Kamu lihat apa Bil?” suara lembut seorang wanita merdu terdengar oleh sosok di kursi roda yang tengah menatap langit di balik jendela.
            “Aku, melihat kebebasan suster” Nabila menjawab pertanyaan itu. Suaranya lemah, kulitnya pucat, tubuhnya mengurus, rambut indah yang dulu dibanggakan sudah tidak ada karena pengaruh kuat dari chemotherapy. Akan tetapi, senyum di wajahnya tidak bisa menutupi bahwa ia tidak sedang larut dalam kesedihan.
            “Langit itu amat luas, rasanya menyenangkan membayangkan aku bisa terbang ke sana, melintasi tujuh benua dan tujuh samudera” lanjutnya masih menatap langit yang sama.
            “Kamu bercita-cita keliling dunia Bil?” Tanya suster itu kembali. Nabila tertawa kecil mendengarnya.
            “Suster ada-ada saja. Saya ini tahu diri sus. Jangankan memikirkan tentang cita-cita, berpikir bahwa saya besok masih hidup saja saya masih belum berani” senyum yang tadinya merekah perlahan menipis dan ia mengalihkan pandangannya ke pantulan dirinya di kaca jendela. Ia baru saja berbohong. Sebenarnya, cita-cita dan impiannya sangatlah berlimpah. Cita-cita yang dibangun selama satu semester bersama tiga sahabatnya.
            “Aduh anak ini, sudah mulai belajar bohong ya” suara yang berbeda tiba-tiba muncul di ruangan serba putih itu. Nabila tidak terkejut sama sekali.
            Penyakit yang benar-benar hebat. Bahkan sekarang aku mulai menghayal mendengar suara Mala. Nabila memejamkan matanya mencoba menenangkan diri. Ia sudah bertekad bahwa ia tidak akan pernah mengalah pada rasa sakit ini.
            “Nabila, buku merah jambu bilang, bahwa ia masih belum mau berpisah sama kamu” suara yang lain tiba-tiba muncul. Nabila mulai merasa sangat aneh karena sekarang suara Tika bergumam dengan sangat jelas. Ia pun merasa khayalannya mulai menjadi-jadi. Separah inikah penyakitnya?
            “Kata buku merah jambu, harus Nabila sendiri yang bercerita tentang kisah hidupnya karena ia tidak mau membagi kisah manis kalian berdua” suara Sakinah menyadarkan gadis di atas kursi roda itu bahwa ia sedang tidak mengkhayal. Suster dengan penuh kerendahan hati membalikkan kursinya sehingga ia bisa melihat tiga peri berdiri di hadapannya.
            “Kalian…….” Isak tangis pun menyelimuti ruangan itu dalam sekejap.
            “Fenomena cewek masa kini nomor 5, mereka bisa sangat cengeng dalam situasi seperti ini” Nabila bergumam pelan dalam pelukan teman-teman yang telah menghabiskan waktu tiga bulan penuh untuk mengumpulkan uang agar bisa membeli tiket pesawat dan akomodasi ke Singapura.

1 komentar:

baby car seat safety ratings mengatakan...

nice blog
salam kenal yah

Posting Komentar

Harus bin wajib isi komentar.. oke.. hehe

 
Copyright 2010 FIKSI