You Are Reading
3
Hiruk pikuk suasana yang mendebarkan. Bau busuk dan amis yang membuat aku ingin muntah. Suara orang yang ramai dan menyiksa pikiranku. Ada suara jeritan, nyanyian, senandung, dan bisikan. Ada pula suara langkah kaki yang tengah berlari-lari kesana-kemari, mendekat dan menjauh.
Kuberanikan diriku untuk tetap melangkah maju memasuki tempat itu, walau aku sadar kepalaku berdenyut
hendak mencegahku, jantungku seakan sedang dipukul oleh palu, dan leherku tercekik seolah mencegahku untuk bernafas. Tapi aku terus melawan dan berteriak sekencangnya dalam hatiku bahwa inilah keinginanku walau aku harus mati untuknya. Aku harus melakukannya. Aku tahu aku bisa. Maka kutarik nafas dalam-dalam dan seketika itu bau busuk itu menjerat paru-paruku, tenggorokanku meronta, dan aku langsung muntah-muntah. Kutahan mulutku dengan kedua tanganku dan aku berakhir dengan kedua telapak tanganku berlumuran muntahan.
Ha…ha…ha…, aku menertawakan diriku sendiri yang sangat konyol. Satu hal lagi yang menambah kekonyolan ini adalah aku menyadari diriku tertawa dengan mulut dan separuh daguku penuh muntahanku sendiri. Andai ada yang melihatku dalam keadaan seperti ini, mereka pasti ikut mual dan tertawa geli.
“Chal! Ichal kan? Ngapain disitu?”
Tiba-tiba seseorang memanggilku. Aku menoleh melihat dan langsung bersemu merah menahan malu. Baru saja tadi berpikir jangan sampai ada yang melihatku dalam keadaan seperti ini, ternyata datang orang kukenal yang melihatku. Betapa memalukannya.
“Ya ampun, Chal…, hahaha…, apa-apaan kamu? Kamu muntah ya? Hi…hi…hi…, hahaha…”, perempuan itu tertawa geli.
“Sudah dong Mir! Nyebelin tau! Ada tisu nggak?” tanyaku kesal.
“Hehehe…, sori, sori. Habis lucu aja. Nggak nyangka bisa ngeliat seorang Arhizal berlumuran muntahnya sendiri”, ia kembali terkikik.
Aku kesal sekali, kesal sekaligus malu, sangat malu. Kusodorkan tanganku yang berlumuran muntah padanya.
“Tisu, tisu!”, pintaku kasar.
Almira yang menahan tawa merogoh kantung di jas putihnya yang bernoda kusam di sana-sini dan menemukan selembar tisu yang jauh lebih putih dari jasnya, lalu menyerahkannya padaku. Aku pun segera memakainya untuk mengelap bibir dan daguku, baru kulap kedua telapak tanganku. Rasanya sangat menjijikkan.
“Sudah. Nggak masalah kan lengket sebentar, bisa aja di dalam nanti dapat yang lebih parah. Nanti aja sekalian cuci pakai air kalau mau pulang dari sini”, ujar Almira lembut.
“Iya, iya. Ngerti, kok. Terharu ni gara-gara dijemput kesini”, sahutku.
“Haha…, habis ditunggu di dalam kok nggak nongol-nongol, makanya disusul kesini. Yuk masuk. Sudah siap mental kan Chal?”
“Mir, jangan panggil Ichal lagi dong, kita kan udah bukan di sekolah lagi”, kataku dengan agak ketus.
“Nggak masalah, dong. Ichal adalah Ichal. Tidak akan berubah, iya kan bapak ketua kelas?”, candanya.
“Ampun deh, Mir. Itu kan sudah 3 tahun yang lalu. Terserah deh”, jawabku pasrah.
Tiap kali aku bertemu teman-teman SMA, mereka masih setia memanggil aku Ichal, pelesetan namaku Arhizal. Kata mereka itu panggilan sayang, tapi lucunya sekarang panggilan itu jadi menular ke teman-teman kuliahku yang juga mulai memanggilku dengan cara yang sama. Entah aku sebenarnya merasa senang atau merasa sebal.
Almira membuka gerbang kecil berwarna putih itu lebih lebar agar aku leluasa masuk. Aku pun berjalan menyusul di belakangnya memasuki tempat yang membuatku berdebar ini. Alasanku merasa tegang adalah aku belum pernah memasuki tempat seperti ini. Ini adalah yang pertama kalinya dan aku berharap bukan yang terakhir kalinya. Kutarik nafas dalam-dalam sekali lagi dan berniat menahan agar tidak muntah. Tapi anehnya ternyata aku tidak semual tadi lagi dan aku senang karenanya. Maka kulanjutkan langkahku dengan lebih percaya diri.
Dinding tempat itu semua bercat putih, bahkan hingga ke pintu kayu dan kusen jendelanya. Satu-satunya yang bercat hitam adalah teralis-teralis besi yang menutupi setiap jendela kamar-kamarnya. Walau hampir semua bercat putih, tempat yang terlihat bersih ini mengeluarkan bau obat, bau pesing, dan bau kotoran. Ya, bau kotoran manusia. Beberapa dinding kamar yang kulewati bebercak kecoklatan, dan aku seketika berpikir bahwa itu adalah sisa kotoran atau kencing seseorang.
Ketika terdapat angin semilir yang berhembus, aku buru-buru menarik nafas dalam-dalam lagi agar paru-paruku memperoleh sedikit ketenangan. Aku harus bertahan untuk mencapai tujuanku. Maka setelah angin semilir itu menghilang, aku kembali memperlambat tarikan nafasku. Fuh…, sedikit melegakan.
Aku merasa sangat salut terhadap Almira. Ia bukan dengan tidak sengaja memperoleh pekerjaan di tempat ini. Almiralah yang justru meminta agar dapat di tempatkan di Rumah Sakit Jiwa Satya Jaga ini untuk mengabdikan dirinya merawat para pasien yang bahkan sudah tidak tahu lagi bagaimana cara untuk buang air. Almira, kau hebat!
Dulu ketika masih di SMA, Almira hanyalah seorang gadis centil biasa yang gemar gonta-ganti pacar. Aku bahkan dulu menjulukinya sebagai “si piala bergilir”, perempuan yang kerjanya menyerahkan dirinya pada pria-pria berbeda untuk di gandeng tangannya dan dicium. Almira dulu selalu menangis tiap kali putus pacaran, lalu tak beberapa lama menemukan lagi pacar baru, lalu putus lagi, dan seterusnya. Benar-benar seperti piala bergilir, perempuan yang menjual murah harga dirinya. Jujur, dulu aku sangat tidak menghargai Almira.
Setelah bertemu setahun yang lalu saat reuni, aku terkejut oleh perubahannya. Almira begitu cantik dalam balutan kerudungnya, walaupun pakaiannya masih agak ketat. Senyumnya begitu bercahaya karena dalam senyum itu ada ketulusan dan cinta. Tutur katanya lembut dan halus, tapi juga tegas dan pasti. Ia begitu berbeda, dan semua teman-teman yang melihatnya seolah dibuat jatuh cinta. Aku pun tak terkecuali, sempat terpana oleh pesonanya.
Demi mengetahui rahasia di balik perubahan Almira, aku menginterogasi beberapa teman lama, termasuk Almira sendiri. Dari situlah aku tahu apa yang terjadi dengannya selama 3 tahun setelah kami lulus SMA. Di saat aku dan teman-teman yang lain sibuk mempersiapkan masuk universitas, Almira kalang-kabut mencari pekerjaan. Keluarganya memang bukan keluarga berkecukupan, dan selama ini ternyata ia menutupinya dari teman-teman karena tidak ingin diremehkan dan dikasihani. Ia hendak bekerja untuk membiayai kedua adiknya yang masih di bangku SMP. Ia sempat mencoba bekerja sebagai kasir di salah satu minimarket terkenal, juga sempat berjualan kosmetik dan alat-alat kecantikan. Tapi tak disangka sekitar setengah tahun kemudian dia bekerja sebagai perawat di tempat seperti ini.
Almira bercerita padaku bagaimana enggannya ia untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di sini dan berdekatan dengan para pasien yang baginya menakutkan bahkan kadang menjijikkan. Ia sering marah-marah dan muntah-muntah, bahkan tak jarang pula marah sambil muntah-muntah. Hahaha… Aku ingat aku juga tertawa terbahak-bahak ketika ia menceritakannya padaku. Tapi karena desakan ekonomi keluarga dan sulitnya mencari pekerjaan ia mengurungkan niatnya untuk melepas profesi barunya itu. Gaji sebagai perawat sedikit lebih baik dibandingkan gaji seorang kasir, lagipula tempatnya dekat dengan rumah, begitu katanya.
Seorang laki-laki dengan rambut gondrong berantakan menabrakku. Laki-laki itu segera minta maaf padaku yang bengong menatapnya. Ia berpaling kepada Almira dan langsung mengadukan bahwa dia lupa dimana ia menyimpan kacamatanya. Almira tersenyum dan dengan lembut menjelaskan bahwa kacamatanya pecah karena jatuh 2 hari yang lalu dan bahwa ini sudah yang kesembilan kalinya ia ditanyakan hal yang sama. Aku tersenyum geli melihat Almira yang geleng-geleng kepala meminta lelaki itu untuk berhenti menanyakan kacamatanya.
_bersambung_
OUR TREASURE part 1.1
Hiruk pikuk suasana yang mendebarkan. Bau busuk dan amis yang membuat aku ingin muntah. Suara orang yang ramai dan menyiksa pikiranku. Ada suara jeritan, nyanyian, senandung, dan bisikan. Ada pula suara langkah kaki yang tengah berlari-lari kesana-kemari, mendekat dan menjauh.
Kuberanikan diriku untuk tetap melangkah maju memasuki tempat itu, walau aku sadar kepalaku berdenyut
hendak mencegahku, jantungku seakan sedang dipukul oleh palu, dan leherku tercekik seolah mencegahku untuk bernafas. Tapi aku terus melawan dan berteriak sekencangnya dalam hatiku bahwa inilah keinginanku walau aku harus mati untuknya. Aku harus melakukannya. Aku tahu aku bisa. Maka kutarik nafas dalam-dalam dan seketika itu bau busuk itu menjerat paru-paruku, tenggorokanku meronta, dan aku langsung muntah-muntah. Kutahan mulutku dengan kedua tanganku dan aku berakhir dengan kedua telapak tanganku berlumuran muntahan.
Ha…ha…ha…, aku menertawakan diriku sendiri yang sangat konyol. Satu hal lagi yang menambah kekonyolan ini adalah aku menyadari diriku tertawa dengan mulut dan separuh daguku penuh muntahanku sendiri. Andai ada yang melihatku dalam keadaan seperti ini, mereka pasti ikut mual dan tertawa geli.
“Chal! Ichal kan? Ngapain disitu?”
Tiba-tiba seseorang memanggilku. Aku menoleh melihat dan langsung bersemu merah menahan malu. Baru saja tadi berpikir jangan sampai ada yang melihatku dalam keadaan seperti ini, ternyata datang orang kukenal yang melihatku. Betapa memalukannya.
“Ya ampun, Chal…, hahaha…, apa-apaan kamu? Kamu muntah ya? Hi…hi…hi…, hahaha…”, perempuan itu tertawa geli.
“Sudah dong Mir! Nyebelin tau! Ada tisu nggak?” tanyaku kesal.
“Hehehe…, sori, sori. Habis lucu aja. Nggak nyangka bisa ngeliat seorang Arhizal berlumuran muntahnya sendiri”, ia kembali terkikik.
Aku kesal sekali, kesal sekaligus malu, sangat malu. Kusodorkan tanganku yang berlumuran muntah padanya.
“Tisu, tisu!”, pintaku kasar.
Almira yang menahan tawa merogoh kantung di jas putihnya yang bernoda kusam di sana-sini dan menemukan selembar tisu yang jauh lebih putih dari jasnya, lalu menyerahkannya padaku. Aku pun segera memakainya untuk mengelap bibir dan daguku, baru kulap kedua telapak tanganku. Rasanya sangat menjijikkan.
“Sudah. Nggak masalah kan lengket sebentar, bisa aja di dalam nanti dapat yang lebih parah. Nanti aja sekalian cuci pakai air kalau mau pulang dari sini”, ujar Almira lembut.
“Iya, iya. Ngerti, kok. Terharu ni gara-gara dijemput kesini”, sahutku.
“Haha…, habis ditunggu di dalam kok nggak nongol-nongol, makanya disusul kesini. Yuk masuk. Sudah siap mental kan Chal?”
“Mir, jangan panggil Ichal lagi dong, kita kan udah bukan di sekolah lagi”, kataku dengan agak ketus.
“Nggak masalah, dong. Ichal adalah Ichal. Tidak akan berubah, iya kan bapak ketua kelas?”, candanya.
“Ampun deh, Mir. Itu kan sudah 3 tahun yang lalu. Terserah deh”, jawabku pasrah.
Tiap kali aku bertemu teman-teman SMA, mereka masih setia memanggil aku Ichal, pelesetan namaku Arhizal. Kata mereka itu panggilan sayang, tapi lucunya sekarang panggilan itu jadi menular ke teman-teman kuliahku yang juga mulai memanggilku dengan cara yang sama. Entah aku sebenarnya merasa senang atau merasa sebal.
Almira membuka gerbang kecil berwarna putih itu lebih lebar agar aku leluasa masuk. Aku pun berjalan menyusul di belakangnya memasuki tempat yang membuatku berdebar ini. Alasanku merasa tegang adalah aku belum pernah memasuki tempat seperti ini. Ini adalah yang pertama kalinya dan aku berharap bukan yang terakhir kalinya. Kutarik nafas dalam-dalam sekali lagi dan berniat menahan agar tidak muntah. Tapi anehnya ternyata aku tidak semual tadi lagi dan aku senang karenanya. Maka kulanjutkan langkahku dengan lebih percaya diri.
Dinding tempat itu semua bercat putih, bahkan hingga ke pintu kayu dan kusen jendelanya. Satu-satunya yang bercat hitam adalah teralis-teralis besi yang menutupi setiap jendela kamar-kamarnya. Walau hampir semua bercat putih, tempat yang terlihat bersih ini mengeluarkan bau obat, bau pesing, dan bau kotoran. Ya, bau kotoran manusia. Beberapa dinding kamar yang kulewati bebercak kecoklatan, dan aku seketika berpikir bahwa itu adalah sisa kotoran atau kencing seseorang.
Ketika terdapat angin semilir yang berhembus, aku buru-buru menarik nafas dalam-dalam lagi agar paru-paruku memperoleh sedikit ketenangan. Aku harus bertahan untuk mencapai tujuanku. Maka setelah angin semilir itu menghilang, aku kembali memperlambat tarikan nafasku. Fuh…, sedikit melegakan.
Aku merasa sangat salut terhadap Almira. Ia bukan dengan tidak sengaja memperoleh pekerjaan di tempat ini. Almiralah yang justru meminta agar dapat di tempatkan di Rumah Sakit Jiwa Satya Jaga ini untuk mengabdikan dirinya merawat para pasien yang bahkan sudah tidak tahu lagi bagaimana cara untuk buang air. Almira, kau hebat!
Dulu ketika masih di SMA, Almira hanyalah seorang gadis centil biasa yang gemar gonta-ganti pacar. Aku bahkan dulu menjulukinya sebagai “si piala bergilir”, perempuan yang kerjanya menyerahkan dirinya pada pria-pria berbeda untuk di gandeng tangannya dan dicium. Almira dulu selalu menangis tiap kali putus pacaran, lalu tak beberapa lama menemukan lagi pacar baru, lalu putus lagi, dan seterusnya. Benar-benar seperti piala bergilir, perempuan yang menjual murah harga dirinya. Jujur, dulu aku sangat tidak menghargai Almira.
Setelah bertemu setahun yang lalu saat reuni, aku terkejut oleh perubahannya. Almira begitu cantik dalam balutan kerudungnya, walaupun pakaiannya masih agak ketat. Senyumnya begitu bercahaya karena dalam senyum itu ada ketulusan dan cinta. Tutur katanya lembut dan halus, tapi juga tegas dan pasti. Ia begitu berbeda, dan semua teman-teman yang melihatnya seolah dibuat jatuh cinta. Aku pun tak terkecuali, sempat terpana oleh pesonanya.
Demi mengetahui rahasia di balik perubahan Almira, aku menginterogasi beberapa teman lama, termasuk Almira sendiri. Dari situlah aku tahu apa yang terjadi dengannya selama 3 tahun setelah kami lulus SMA. Di saat aku dan teman-teman yang lain sibuk mempersiapkan masuk universitas, Almira kalang-kabut mencari pekerjaan. Keluarganya memang bukan keluarga berkecukupan, dan selama ini ternyata ia menutupinya dari teman-teman karena tidak ingin diremehkan dan dikasihani. Ia hendak bekerja untuk membiayai kedua adiknya yang masih di bangku SMP. Ia sempat mencoba bekerja sebagai kasir di salah satu minimarket terkenal, juga sempat berjualan kosmetik dan alat-alat kecantikan. Tapi tak disangka sekitar setengah tahun kemudian dia bekerja sebagai perawat di tempat seperti ini.
Almira bercerita padaku bagaimana enggannya ia untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di sini dan berdekatan dengan para pasien yang baginya menakutkan bahkan kadang menjijikkan. Ia sering marah-marah dan muntah-muntah, bahkan tak jarang pula marah sambil muntah-muntah. Hahaha… Aku ingat aku juga tertawa terbahak-bahak ketika ia menceritakannya padaku. Tapi karena desakan ekonomi keluarga dan sulitnya mencari pekerjaan ia mengurungkan niatnya untuk melepas profesi barunya itu. Gaji sebagai perawat sedikit lebih baik dibandingkan gaji seorang kasir, lagipula tempatnya dekat dengan rumah, begitu katanya.
Seorang laki-laki dengan rambut gondrong berantakan menabrakku. Laki-laki itu segera minta maaf padaku yang bengong menatapnya. Ia berpaling kepada Almira dan langsung mengadukan bahwa dia lupa dimana ia menyimpan kacamatanya. Almira tersenyum dan dengan lembut menjelaskan bahwa kacamatanya pecah karena jatuh 2 hari yang lalu dan bahwa ini sudah yang kesembilan kalinya ia ditanyakan hal yang sama. Aku tersenyum geli melihat Almira yang geleng-geleng kepala meminta lelaki itu untuk berhenti menanyakan kacamatanya.
_bersambung_
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Penulis
About Me
Welcome Sahabat!!
Selamat datang di blog sahabat fiksi.
Situs ini berisikan tentang dunia tulis menulis fiksi.
Jangan lupa isi buku tamu disebelah kanan ===================>>>
Jangan lupa isi juga komentar di bawah tulisan..
Semoga berkenan.
Salam,
Fiksioners
Situs ini berisikan tentang dunia tulis menulis fiksi.
Jangan lupa isi buku tamu disebelah kanan ===================>>>
Jangan lupa isi juga komentar di bawah tulisan..
Semoga berkenan.
Salam,
Fiksioners
3 komentar:
ayoo lanjut ceritanya.. menarik..laki-laki gondrong.. waw.. hehe..
itu kamar mayat ya teh? ko bau.. :)
bukan mi..., itu bangsal2 RSJ...
bau kotoran manusia dan lain2nya...
hy mba..klo nlis d Ms.word tue brpa lmbar krts hvs ya...?
Posting Komentar
Harus bin wajib isi komentar.. oke.. hehe